Sighat Akad Nikah: Rukun, Syarat, dan Pentingnya dalam Islam
Pendahuluan: Fondasi Suci Pernikahan dalam Islam
Pernikahan, dalam ajaran Islam, bukanlah sekadar ikatan sosial atau pemenuhan naluri biologis semata, melainkan sebuah ibadah yang sangat ditekankan, sunnah Rasulullah SAW, serta fondasi utama dalam membangun peradaban manusia yang bermartabat. Ia adalah gerbang menuju pembentukan keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang), sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur'an. Dalam syariat Islam, sahnya sebuah pernikahan sangat bergantung pada terpenuhinya berbagai rukun dan syarat yang telah ditetapkan. Salah satu elemen krusial yang menjadi inti dan esensi dari validitas pernikahan tersebut adalah sighat akad nikah.
Sighat akad nikah adalah untaian kata-kata sakral yang diucapkan oleh wali dan calon suami sebagai bentuk ijab (penyerahan) dan qabul (penerimaan), yang secara langsung mengikat perjanjian suci ini di hadapan Allah SWT dan disaksikan oleh manusia. Tanpa sighat yang benar dan memenuhi syarat, sebuah pernikahan tidak akan dianggap sah secara syar'i, bahkan jika semua elemen lainnya telah terpenuhi. Ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman mendalam tentang sighat akad nikah bagi setiap muslim yang hendak melangsungkan atau terlibat dalam proses pernikahan.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas seluk-beluk sighat akad nikah, mulai dari definisi istilah, rukun-rukun yang melingkupinya, syarat-syarat yang harus dipenuhi, hingga implikasi hukum dan hikmah di baliknya. Dengan memahami secara komprehensif aspek-aspek ini, diharapkan setiap individu dapat melaksanakan pernikahan sesuai dengan tuntunan syariat, sehingga terbentuklah keluarga-keluarga yang berkah dan diridhai Allah SWT, serta memiliki pondasi hukum yang kuat di tengah masyarakat.
Memahami Istilah: Sighat, Akad, dan Nikah
Sebelum melangkah lebih jauh, sangat penting untuk memahami definisi dan konteks penggunaan tiga istilah kunci yang sering saling terkait dalam pembahasan pernikahan Islam: sighat, akad, dan nikah. Ketiganya memiliki makna dan peran tersendiri yang krusial.
1. Sighat (الصيغة)
Secara etimologi, kata sighat dalam bahasa Arab berarti bentuk, formula, pola, atau rumus. Ia merujuk pada konstruksi linguistik atau ungkapan verbal yang memiliki makna tertentu. Dalam konteks fiqih muamalah, termasuk pernikahan, sighat adalah ucapan verbal atau ekspresi non-verbal tertentu yang menunjukkan terjadinya suatu perjanjian atau transaksi.
- Sighat dalam Akad Nikah: Secara spesifik, sighat dalam akad nikah merujuk pada rangkaian kata-kata yang diucapkan oleh wali (atau wakilnya) sebagai ijab (penawaran/penyerahan) dan oleh calon suami sebagai qabul (penerimaan). Ucapan ini harus jelas, tegas, dan secara eksplisit menunjukkan tujuan untuk melangsungkan pernikahan.
- Fungsi Sighat: Sighat berfungsi sebagai manifestasi eksternal dari kehendak dan niat pihak-pihak yang berakad. Ia adalah jembatan antara niat dalam hati dengan pengakuan hukum syariat, menjadikannya sah dan mengikat. Tanpa sighat yang sesuai, niat saja tidak cukup untuk mengesahkan suatu akad.
2. Akad (العقد)
Kata akad juga berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti ikatan, simpul, atau perjanjian. Ia menunjukkan suatu pengikatan atau keterhubungan antara dua pihak atau lebih. Dalam terminologi fiqih:
- Akad dalam Islam: Akad adalah suatu perjanjian atau transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, yang memiliki konsekuensi hukum dan syar'i. Tujuan utama akad adalah untuk mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam suatu komitmen dan menimbulkan hak serta kewajiban tertentu.
- Ciri-ciri Akad: Sebuah akad selalu melibatkan unsur ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), serta pihak-pihak yang berakad (aqidain) dan objek akad (ma'qud alaih). Akad nikah adalah salah satu jenis akad yang paling penting dalam Islam, memiliki kekhususan dalam rukun dan syaratnya.
- Peran Akad Nikah: Akad nikah adalah ikatan suci yang menghalalkan hubungan antara seorang pria dan seorang wanita, serta membangun fondasi sebuah keluarga. Ia menciptakan ikatan yang lebih dari sekadar kontrak biasa, karena di dalamnya terkandung dimensi ibadah dan amanah dari Allah SWT.
3. Nikah (النكاح)
Secara bahasa, nikah memiliki beberapa makna, di antaranya bersatu, berkumpul, atau saling mengikat. Ada pula yang mengartikannya sebagai "campur" atau "masuk". Dalam konteks syariat Islam:
- Definisi Syar'i: Nikah adalah sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahramnya, dengan syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan syariat, serta bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin menyebut nikah sebagai "jalan untuk menjaga kelangsungan keturunan dan menjaga kemaluan".
- Nikah sebagai Ibadah: Lebih dari sekadar pemenuhan hajat biologis, nikah dipandang sebagai separuh dari agama, sunnah para Nabi, dan jalan untuk mencapai keridhaan Allah. Ia adalah bentuk ketaatan yang luas, mencakup pembangunan keluarga, mendidik anak, serta menciptakan masyarakat yang bermoral.
- Tujuan Nikah: Selain disebutkan di atas, nikah juga bertujuan untuk melestarikan keturunan, menjaga kehormatan, meraih ketenangan jiwa, serta memperluas silaturahmi antara dua keluarga.
Keterkaitan Antara Sighat, Akad, dan Nikah
Ketiga istilah ini saling terkait erat dalam proses pernikahan. Nikah adalah tujuan atau hasil akhir, yaitu terbentuknya ikatan pernikahan yang sah. Untuk mencapai nikah yang sah, diperlukan akad, yaitu perjanjian formal yang mengikat kedua belah pihak. Dan untuk membentuk akad yang valid, diperlukan sighat, yaitu ucapan ijab dan qabul yang memenuhi syarat dan rukun, sebagai bentuk ekspresi sah dari akad tersebut. Dengan kata lain, sighat adalah "kata kunci" yang membuka pintu menuju akad, dan akad adalah "jembatan" yang menghubungkan dua insan dalam ikatan pernikahan yang suci.
Pemahaman yang jelas tentang perbedaan dan keterkaitan ketiga istilah ini akan sangat membantu dalam menganalisis dan memastikan keabsahan sebuah pernikahan sesuai tuntunan syariat Islam. Bagian selanjutnya akan membahas rukun-rukun nikah, dengan penekanan pada sighat ijab qabul sebagai rukun yang paling sentral.
Rukun Nikah: Pilar-Pilar Utama yang Tak Boleh Absen
Dalam syariat Islam, sahnya suatu pernikahan sangat bergantung pada terpenuhinya rukun-rukunnya. Rukun diibaratkan sebagai pilar-pilar penyangga sebuah bangunan; jika salah satu pilar tidak ada atau tidak sempurna, maka bangunan tersebut tidak akan berdiri kokoh atau bahkan tidak dianggap ada. Para ulama fiqih umumnya sepakat bahwa rukun nikah ada lima, yaitu:
- Calon Suami (Az-Zawj)
- Calon Istri (Az-Zawjah)
- Wali Nikah (Al-Waliy)
- Dua Saksi (Asy-Syahidani)
- Sighat Ijab Qabul (Shighah al-Ijab wa al-Qabul)
Masing-masing rukun ini memiliki syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi agar pernikahan dianggap sah. Berikut adalah penjelasan mendalam mengenai setiap rukun:
1. Calon Suami (Az-Zawj)
Pihak pertama dalam akad nikah adalah calon suami, yang harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
- Islam: Calon suami harus seorang Muslim. Seorang wanita Muslimah tidak sah dinikahi oleh laki-laki non-Muslim (Q.S. Al-Baqarah: 221).
- Tidak Sedang Ihram Haji atau Umrah: Laki-laki yang sedang dalam keadaan ihram (memakai pakaian ihram dan sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah) tidak sah melangsungkan pernikahan, baik sebagai pengantin, wali, maupun saksi. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW, "Tidak boleh orang yang ihram menikah dan tidak boleh pula menikahkannya." (HR. Muslim).
- Bukan Mahram Calon Istri: Calon suami tidak boleh memiliki hubungan mahram dengan calon istri, baik mahram karena nasab (keturunan), susuan, maupun pernikahan (mushaharah). Daftar mahram sangat jelas dalam Al-Qur'an (Q.S. An-Nisa: 23).
- Bukan Suami Orang Lain: Calon suami tidak boleh sedang terikat pernikahan yang sah dengan wanita lain jika ia sudah mencapai batas maksimal istri (empat istri dalam Islam).
- Berkehendak Sendiri (Tidak Ada Paksaan): Pernikahan harus dilakukan atas dasar sukarela dan ridha kedua belah pihak, tanpa ada paksaan. Jika ada paksaan, akad nikah tersebut bisa menjadi tidak sah.
- Jelas Orangnya: Calon suami harus jelas identitasnya, tidak samar, agar tidak terjadi kekeliruan dalam akad.
2. Calon Istri (Az-Zawjah)
Pihak kedua adalah calon istri, yang juga memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi:
- Islam atau Ahli Kitab: Calon istri harus seorang Muslimah. Namun, menurut jumhur ulama, dibolehkan menikahi wanita dari Ahli Kitab (Yahudi atau Nasrani) dengan syarat-syarat tertentu (Q.S. Al-Maidah: 5). Mayoritas ulama di Indonesia menganjurkan untuk menikahi sesama Muslimah.
- Tidak Sedang Ihram Haji atau Umrah: Sama seperti calon suami, calon istri tidak boleh dalam keadaan ihram.
- Bukan Mahram Calon Suami: Calon istri tidak boleh memiliki hubungan mahram dengan calon suami.
- Tidak dalam Masa Iddah: Wanita yang sedang dalam masa iddah (masa tunggu setelah bercerai atau meninggalnya suami) tidak boleh dinikahi. Masa iddah berfungsi untuk memastikan tidak adanya kehamilan dari suami sebelumnya dan memberikan kesempatan untuk merenung. Jika dinikahi dalam masa iddah, pernikahannya batal.
- Bukan Istri Orang Lain: Calon istri tidak boleh sedang terikat pernikahan yang sah dengan laki-laki lain.
- Berkehendak Sendiri (Tidak Ada Paksaan): Harus ada kerelaan dari calon istri. Islam sangat menghargai hak wanita untuk memilih pasangan hidupnya.
- Jelas Orangnya: Identitas calon istri harus jelas.
3. Wali Nikah (Al-Waliy)
Wali adalah orang yang berhak menikahkan wanita. Keberadaan wali adalah rukun yang sangat penting dalam mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali." (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah). Tanpa wali, pernikahan seorang wanita tidak sah.
Syarat-syarat Wali:
- Islam: Wali harus seorang Muslim. Seorang non-Muslim tidak berhak menjadi wali bagi wanita Muslimah.
- Baligh: Wali harus sudah mencapai usia dewasa (baligh). Anak-anak tidak sah menjadi wali.
- Berakal: Wali harus berakal sehat dan mampu memahami konsekuensi dari akad nikah. Orang gila atau penderita gangguan jiwa tidak sah menjadi wali.
- Laki-laki: Wali harus seorang laki-laki. Wanita tidak sah menjadi wali nikah.
- Adil: Wali harus orang yang adil, yaitu tidak fasik atau terang-terangan berbuat dosa besar. Walaupun sebagian ulama meringankan syarat ini.
- Merdeka: Wali harus orang yang merdeka (bukan budak), meskipun di zaman modern syarat ini sudah tidak relevan.
- Tidak sedang Ihram Haji atau Umrah: Sama seperti pengantin.
- Bukan Orang yang Dinikahi: Wali tidak boleh menikahi dirinya sendiri dengan wanita yang diwalikannya, kecuali jika dia memiliki wakil.
Urutan Wali Nikah (Wali Nasab):
Ada hierarki dalam urutan wali yang harus diikuti. Jika wali yang paling dekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat, barulah beralih ke wali berikutnya:
- Ayah Kandung: Prioritas utama dan paling kuat hak perwaliannya.
- Kakek (dari pihak ayah): Jika ayah tidak ada atau tidak mampu menjadi wali.
- Saudara Kandung Laki-laki Sekandung: Saudara laki-laki seayah dan seibu.
- Saudara Laki-laki Seayah: Jika tidak ada saudara kandung.
- Anak Laki-laki dari Saudara Kandung Laki-laki (Keponakan Laki-laki dari Kakak/Adik Sekandung): Dengan urutan keturunan ke bawah.
- Anak Laki-laki dari Saudara Laki-laki Seayah (Keponakan Laki-laki dari Kakak/Adik Seayah):
- Paman (Saudara Ayah Sekandung):
- Paman (Saudara Ayah Seayah):
- Anak Laki-laki dari Paman (Sepupu Laki-laki): Dengan urutan keturunan ke bawah.
- Dan seterusnya mengikuti garis keturunan laki-laki (ashabah).
Wali Adhal dan Wali Hakim:
- Wali Adhal: Terjadi ketika seorang wali nasab yang seharusnya menikahkan menolak atau mempersulit pernikahan tanpa alasan syar'i yang jelas, padahal calon suami adalah orang yang sekufu (setara) dan shalih. Dalam kondisi ini, hak perwalian dapat beralih kepada wali hakim (hakim syar'i atau pejabat KUA).
- Wali Hakim: Wali hakim adalah pejabat pemerintah yang berwenang dalam urusan pernikahan (misalnya Kepala KUA di Indonesia). Ia bertindak sebagai wali jika:
- Tidak ada wali nasab yang memenuhi syarat.
- Wali nasab ada tetapi berhalangan (misalnya jauh, sakit, gila).
- Wali nasab menolak (adhal) tanpa alasan yang syar'i.
- Wanita tidak memiliki wali nasab sama sekali.
4. Dua Saksi (Asy-Syahidani)
Kehadiran saksi dalam akad nikah adalah rukun yang mutlak diperlukan, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil." (HR. Al-Baihaqi). Saksi memiliki peran vital untuk menjaga kemuliaan pernikahan dan mencegah fitnah.
Syarat-syarat Saksi:
- Islam: Saksi harus seorang Muslim.
- Baligh: Saksi harus sudah dewasa.
- Berakal: Saksi harus berakal sehat.
- Laki-laki: Saksi harus dua orang laki-laki. Para ulama sepakat wanita tidak bisa menjadi saksi tunggal dalam akad nikah, dan ada perbedaan pendapat tentang gabungan wanita (misal satu laki-laki dan dua wanita). Namun mayoritas mewajibkan dua laki-laki.
- Adil: Saksi harus adil, dalam arti tidak fasik atau terang-terangan melakukan dosa besar. Syarat keadilan ini penting agar kesaksian mereka dapat dipercaya.
- Mendengar dan Memahami Ijab Qabul: Saksi harus hadir secara fisik dalam majelis akad, mendengar dengan jelas ucapan ijab dan qabul, serta memahami maksud dari sighat tersebut. Jika ada saksi yang tuli atau tidak memahami bahasa yang digunakan, kesaksiannya tidak sah.
- Tidak Buta (Sebagian Ulama): Beberapa ulama mensyaratkan saksi tidak buta, untuk memastikan mereka dapat melihat jalannya akad.
- Bukan Orang yang Memiliki Kepentingan Langsung: Meskipun tidak selalu membatalkan, dianjurkan agar saksi bukanlah pihak yang memiliki kepentingan langsung dalam pernikahan (misalnya calon suami atau wali sendiri, meskipun wali dan saksi adalah peran berbeda).
Keberadaan saksi memastikan bahwa pernikahan terjadi secara terbuka, diketahui oleh masyarakat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Mereka menjadi bukti autentik atas terjadinya akad nikah.
5. Sighat Ijab Qabul (Shighah al-Ijab wa al-Qabul)
Sighat ijab qabul adalah rukun yang menjadi inti dari seluruh proses akad nikah. Ini adalah rangkaian ucapan verbal yang secara eksplisit menunjukkan terjadinya perjanjian pernikahan. Tanpa ijab qabul yang sah dan memenuhi syarat, rukun-rukun lainnya tidak akan bermakna.
Bagian selanjutnya akan membahas sighat ijab qabul ini secara lebih mendalam, karena ia adalah esensi dari judul artikel ini.
Sighat Ijab Qabul: Untaian Kata yang Mengikat Janji Suci
Sighat ijab qabul merupakan jantung dari akad nikah, rukun yang paling menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Ia adalah ekspresi verbal dari kesepakatan untuk membentuk ikatan suci ini, yang mengubah status dua individu menjadi pasangan suami istri yang sah di mata agama dan hukum. Memahami detail sighat ijab qabul sangat krusial agar pernikahan kita tidak hanya meriah, tetapi juga berkah dan sah sesuai syariat.
Pengertian Ijab dan Qabul
Dalam konteks akad nikah:
- Ijab (الإيجاب): Adalah ungkapan penyerahan atau tawaran untuk menikah dari pihak wali (atau wakilnya) kepada calon suami. Ijab ini datang dari pihak yang memiliki hak untuk menikahkan, yaitu wali dari calon istri.
- Qabul (القبول): Adalah ungkapan penerimaan dari pihak calon suami atas tawaran ijab tersebut. Qabul ini harus sesuai dan sejalan dengan ijab yang diucapkan.
Kedua ungkapan ini harus saling bersahutan, jelas, dan tanpa keraguan, menandakan kesepakatan bulat antara kedua belah pihak.
Syarat-syarat Ijab Qabul yang Sah
Agar sighat ijab qabul dianggap sah, ia harus memenuhi beberapa syarat esensial:
Jelas dan Tegas (Sharih)
Lafadz yang digunakan harus jelas dan tegas menunjukkan makna pernikahan, bukan makna lain seperti jual beli, sewa menyewa, atau hibah. Kata-kata yang ambigu atau multitafsir tidak dibenarkan. Kata-kata seperti "Saya nikahkan kamu" atau "Saya kawinkan kamu" adalah contoh lafadz yang sharih. Jika menggunakan bahasa lain, maknanya juga harus setegas itu.
Tidak Dibatasi Waktu (Permanen)
Akad nikah harus dilakukan untuk selamanya (permanen), bukan untuk jangka waktu tertentu (seperti nikah mut'ah yang diharamkan, atau nikah kontrak). Jika ijab atau qabul disertai dengan batasan waktu, misalnya "Saya nikahkan kamu selama setahun", maka akad tersebut batal dan tidak sah. Pernikahan dalam Islam adalah ikatan seumur hidup.
Tidak Disertai Syarat yang Membatalkan atau Meragukan
Ijab dan qabul tidak boleh digantungkan pada suatu syarat yang bisa membatalkan akad atau menimbulkan keraguan terhadap keabsahannya. Contoh syarat yang membatalkan: "Saya nikahkan kamu, jika ayah saya mengizinkan," atau "Saya terima nikahnya, asalkan saya tidak wajib menafkahinya." Syarat seperti ini menjadikan akad tidak sah karena tidak adanya kepastian atau bertentangan dengan esensi pernikahan. Namun, syarat yang tidak membatalkan hukum akad, seperti "Saya nikahkan kamu dengan syarat kamu tidak menikah lagi", bisa menjadi sah tergantung madzhab dan konteksnya, tetapi umumnya tetap sah dan syarat tersebut menjadi syarat tambahan yang mengikat.
Berkesinambungan (Ittishal)
Antara ijab dan qabul harus terjadi secara berkesinambungan atau tanpa jeda yang berarti. Tidak boleh ada jeda waktu yang terlalu lama atau ucapan lain yang tidak relevan di antara ijab dan qabul. Idealnya, setelah wali mengucapkan ijab, calon suami langsung menyambungnya dengan qabul. Jeda yang terlalu panjang bisa mengindikasikan ketidaksesuaian atau perubahan niat.
Dilakukan dalam Satu Majelis
Ijab dan qabul harus diucapkan dalam satu majelis (satu pertemuan) yang sama. Ini menegaskan bahwa kedua belah pihak dan saksi-saksi hadir dalam satu waktu dan tempat untuk menyaksikan perjanjian tersebut. Jika ijab diucapkan di satu tempat, lalu qabul diucapkan di tempat lain atau di waktu yang jauh berbeda, maka akad tersebut tidak sah.
Memahami Maksud Lafadz yang Diucapkan
Wali, calon suami, dan saksi-saksi harus memahami makna dari lafadz ijab dan qabul yang diucapkan. Niat dan pemahaman adalah kunci. Jika salah satu pihak mengucapkan tanpa mengerti artinya, misalnya karena mengikuti teks tanpa pemahaman, keabsahan akadnya bisa dipertanyakan.
Lafadz Ijab
Ijab diucapkan oleh wali nikah (atau wakilnya seperti penghulu jika wali mewakilkan) kepada calon suami. Lafadznya harus jelas dan merujuk kepada calon istri dan maharnya. Berikut beberapa contoh:
- Dalam Bahasa Arab (lafadz baku):
"أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ ابْنَتِي/مَوكلتي [Nama Calon Istri] عَلَى مَهْرِ [Jumlah/Jenis Mahar] حَالاً."
(Ankahtuka wa zawwajtuka ibnatī/muwakkilatī [Nama Calon Istri] 'ala mahri [Jumlah/Jenis Mahar] hālan.)
Artinya: "Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak perempuanku/wanita yang saya walikan [Nama Calon Istri] dengan mahar [Jumlah/Jenis Mahar] tunai." - Dalam Bahasa Indonesia (yang umum digunakan):
"Saudara/Ananda [Nama Calon Suami], saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak kandung saya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Calon Istri] dengan mahar [Jumlah/Jenis Mahar] dibayar tunai."
Atau
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, [Nama Calon Suami], dengan anak perempuan saya, [Nama Calon Istri], dengan mas kawin [Jumlah/Jenis Mahar], tunai."
Penting untuk dicatat:
- Penggunaan kata "nikah" dan "kawin" dalam bahasa Indonesia seringkali digabungkan untuk menekankan makna dan menghindari keraguan. Keduanya memiliki arti yang sama dalam konteks ini.
- Penyebutan nama calon istri dan mahar adalah penting agar akad menjadi spesifik dan tidak terjadi kekeliruan.
- Penyebutan "tunai" (atau "kontan") menunjukkan bahwa mahar diserahkan langsung saat akad, meskipun tidak selalu menjadi syarat sahnya akad jika mahar dibayar tunda, asalkan telah disepakati dan disebut dalam akad.
Lafadz Qabul
Qabul diucapkan oleh calon suami sebagai respons langsung terhadap ijab. Lafadznya harus menunjukkan penerimaan yang sejalan dengan ijab yang diucapkan. Berikut beberapa contoh:
- Dalam Bahasa Arab (lafadz baku):
"قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيجَهَا بِمَهْرِهَا الْمَذْكُورِ."
(Qabiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahriha al-madzkuri.)
Artinya: "Saya terima nikahnya dan kawinnya dengan mahar yang disebutkan." - Dalam Bahasa Indonesia (yang umum digunakan):
"Saya terima nikah dan kawinnya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Calon Istri] dengan mahar tersebut tunai."
Atau
"Saya terima nikahnya [Nama Calon Istri] dengan mahar tersebut."
Penting untuk dicatat:
- Lafadz qabul harus secara eksplisit menyatakan penerimaan atas pernikahan dan mahar yang disebutkan dalam ijab.
- Kesesuaian lafadz ijab dan qabul sangat vital. Jika ijab menyebut "nikah", qabul juga harus "nikah". Jika ijab menyebut "dengan mahar sekian", qabul juga harus merujuk pada mahar tersebut.
- Pengucapan harus jelas, lantang, dan mudah didengar oleh para saksi.
Bahasa dalam Ijab Qabul
Meskipun lafadz Arab adalah yang paling fasih dan asli dalam syariat Islam, para ulama sepakat bahwa ijab dan qabul boleh diucapkan dalam bahasa apa pun asalkan maknanya jelas dan dipahami oleh semua pihak yang terlibat (wali, calon suami, dan saksi-saksi). Di Indonesia, ijab qabul umumnya diucapkan dalam bahasa Indonesia. Jika salah satu pihak tidak menguasai bahasa setempat, dapat digunakan penerjemah, asalkan terjemahannya akurat dan semua pihak memahami maknanya.
Niat dan Kesadaran Penuh
Di balik untaian kata sighat ijab qabul, terdapat niat dan kesadaran penuh dari pihak-pihak yang berakad. Pernikahan bukanlah permainan atau lelucon. Niat untuk membangun rumah tangga yang Islami, menjalankan sunnah, dan beribadah kepada Allah harus menjadi dasar. Jika ijab qabul diucapkan dalam keadaan tidak sadar (misalnya karena mabuk atau gila), atau di bawah tekanan/paksaan yang menghilangkan kebebasan berkehendak, maka akad tersebut tidak sah.
Simulasi dan Contoh Dialog Lengkap Ijab Qabul
Berikut adalah contoh simulasi dialog ijab qabul dalam bahasa Indonesia yang sering terjadi:
Penghulu/Tokoh Agama (memimpin acara): "Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillah, mari kita saksikan akad nikah dari Saudara [Nama Calon Suami] dengan Saudari [Nama Calon Istri]. Kepada Bapak Wali, [Nama Wali], dipersilakan untuk mengucapkan ijab."
Wali Nikah (Ayah Calon Istri): "Bismillahirrahmanirrahim. Saudara [Nama Calon Suami] bin [Nama Ayah Calon Suami], saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak kandung saya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Calon Istri] dengan mas kawinnya berupa [Jenis dan Jumlah Mahar, contoh: seperangkat alat shalat dan uang tunai sebesar Rp X.XXX.XXX] dibayar tunai."
Calon Suami: "Saya terima nikah dan kawinnya [Nama Calon Istri] binti [Nama Ayah Calon Istri] dengan mas kawin tersebut tunai."
Penghulu/Tokoh Agama: "Bagaimana para saksi? Sah?"
Saksi-saksi: "Sah!"
Penghulu/Tokoh Agama: "Alhamdulillah. Barakallahu lakuma wa baraka 'alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair." (Sambil memimpin doa).
Contoh ini menunjukkan alur yang jelas dan lafadz yang memenuhi syarat-syarat syar'i. Kejelasan, ketegasan, dan kesesuaian antara ijab dan qabul adalah kunci.
Kesalahan Umum dalam Pengucapan Sighat
Beberapa kesalahan yang sering terjadi dan dapat membatalkan atau meragukan keabsahan sighat:
- Jeda Terlalu Lama: Adanya jeda yang panjang antara ijab dan qabul tanpa alasan yang jelas, sehingga terkesan tidak berkesinambungan.
- Lafadz yang Tidak Jelas: Menggunakan kata-kata yang tidak secara eksplisit menunjukkan pernikahan atau menggunakan istilah yang ambigu.
- Perubahan Lafadz: Calon suami mengubah lafadz qabul secara signifikan dari lafadz ijab yang diucapkan wali.
- Kurangnya Pemahaman: Salah satu pihak, terutama calon suami, mengucapkan qabul tanpa memahami makna dan konsekuensi dari kata-kata tersebut.
- Ada Paksaan: Salah satu pihak berada di bawah tekanan atau paksaan sehingga akad tidak dilakukan atas kehendak bebas.
- Ketiadaan Mahar yang Jelas: Meskipun mahar bukan rukun dalam beberapa madzhab, penyebutannya dalam akad adalah sunnah dan sangat dianjurkan untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Jika tidak disebut, tetap wajib ditentukan kemudian.
Dengan memperhatikan syarat dan contoh di atas, diharapkan setiap muslim dapat melaksanakan sighat akad nikah dengan benar, sehingga ikatan suci yang terbentuk menjadi sah, berkah, dan langgeng hingga ke jannah.
Mahar (Maskawin): Hadiah Pernikahan yang Bermakna
Mahar, atau sering disebut maskawin, adalah salah satu elemen penting dalam pernikahan Islam, meskipun secara teknis bukan termasuk rukun nikah menurut jumhur ulama, melainkan syarat atau hak yang wajib dipenuhi. Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai bentuk penghormatan dan kesungguhan hati untuk menikahinya.
Definisi dan Hukum Mahar
Secara bahasa, mahar berarti pemberian. Secara syar'i, mahar adalah harta yang wajib diserahkan oleh suami kepada istrinya sebagai imbalan atas akad nikah yang telah dilakukan. Hukum mahar adalah wajib. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan." (Q.S. An-Nisa: 4)
Ayat ini menunjukkan bahwa mahar adalah hak mutlak bagi istri. Meskipun wajib, ketiadaan penyebutan mahar saat akad nikah tidak membatalkan akad itu sendiri menurut mayoritas ulama, namun kewajiban untuk membayar mahar tetap ada dan harus ditentukan kemudian (disebut mahar mitsl atau mahar standar yang berlaku di komunitas tersebut).
Jenis dan Ukuran Mahar
Islam tidak menentukan batas minimal atau maksimal untuk mahar. Mahar bisa berupa apa saja yang memiliki nilai dan bermanfaat, dengan syarat tidak haram. Beberapa contoh mahar yang umum:
- Uang Tunai: Dalam jumlah tertentu yang disepakati.
- Emas atau Perhiasan: Misalnya seperangkat perhiasan emas.
- Seperangkat Alat Shalat: Sebagai simbol pendidikan agama dalam rumah tangga.
- Jasa: Seperti mengajarkan Al-Qur'an, atau jasa lainnya yang bermanfaat.
- Barang Berharga Lainnya: Tanah, rumah, kendaraan, atau aset lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, "Carilah (mahar) walau hanya cincin besi." (HR. Bukhari dan Muslim), yang menunjukkan bahwa mahar tidak harus mewah, yang terpenting adalah ada nilai dan kesungguhan. Dianjurkan agar mahar tidak memberatkan calon suami, sesuai dengan kemampuan, karena tujuan utama mahar adalah sebagai simbol bukan sebagai alat memberatkan.
Pentingnya Mahar dalam Akad Nikah
Meskipun tidak semua ulama menjadikannya rukun, penyebutan mahar dalam sighat akad nikah memiliki beberapa fungsi penting:
- Penghormatan kepada Wanita: Mahar adalah bentuk penghargaan dan penghormatan kepada calon istri, menunjukkan bahwa dia adalah pihak yang mulia dan berharga.
- Kesungguhan Calon Suami: Mahar menunjukkan keseriusan dan kesungguhan calon suami dalam membangun rumah tangga.
- Pencegahan Perselisihan: Penyebutan yang jelas di awal akad dapat mencegah perselisihan mengenai mahar di kemudian hari.
- Perlindungan Hak Istri: Mahar menjadi salah satu jaminan hak istri dan bekal awal bagi kehidupannya yang baru.
Oleh karena itu, meskipun mungkin akad tetap sah tanpa menyebut mahar jika sudah ada niat, sangat dianjurkan untuk selalu menyebutkan dan menentukan mahar secara jelas dalam sighat ijab qabul demi kesempurnaan dan keberkahan akad nikah.
Khutbah Nikah: Pengingat dan Nasihat Suci
Sebelum pelaksanaan ijab qabul, biasanya diawali dengan khutbah nikah. Khutbah nikah adalah ceramah singkat yang disampaikan oleh seorang khatib (umumnya penghulu atau tokoh agama) yang berisi nasihat-nasihat tentang pernikahan dalam Islam. Hukum khutbah nikah adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan), bukan syarat atau rukun nikah, sehingga ketiadaannya tidak membatalkan akad.
Isi Khutbah Nikah
Meskipun tidak ada format baku yang mutlak, khutbah nikah umumnya mencakup:
- Pujian kepada Allah SWT dan Shalawat kepada Rasulullah SAW: Dimulai dengan hamdalah dan shalawat.
- Nasihat Takwa: Mengingatkan calon pengantin dan hadirin untuk senantiasa bertakwa kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam berumah tangga.
- Ayat-ayat Al-Qur'an tentang Pernikahan: Seringkali dibacakan ayat-ayat yang relevan, seperti:
- Q.S. An-Nisa: 1 (tentang penciptaan manusia dari satu jiwa dan perintah takwa).
- Q.S. Ar-Rum: 21 (tentang tujuan pernikahan untuk sakinah, mawaddah, rahmah).
- Q.S. Al-Ahzab: 70-71 (tentang perintah berkata benar dan janji Allah bagi orang yang bertakwa).
- Hadits Nabi tentang Keutamaan Nikah: Mengingatkan bahwa pernikahan adalah sunnah Nabi dan jalan untuk menyempurnakan separuh agama.
- Hak dan Kewajiban Suami Istri: Penjelasan singkat mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak agar tercipta keharmonisan.
- Doa untuk Pengantin: Diakhiri dengan doa kebaikan dan keberkahan bagi pasangan yang akan menikah.
Tujuan Khutbah Nikah
Tujuan utama khutbah nikah adalah untuk memberikan bekal spiritual dan pengetahuan agama kepada calon pengantin agar mereka memahami betul esensi pernikahan dalam Islam, bukan sekadar perayaan. Nasihat-nasihat ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam mengarungi bahtera rumah tangga, menghadapi tantangan, dan menjaga keharmonisan berdasarkan ajaran agama.
Hikmah dan Tujuan Pernikahan dalam Islam
Pernikahan dalam Islam bukan hanya sekadar legalisasi hubungan biologis, melainkan sebuah institusi suci yang sarat dengan hikmah (kebijaksanaan) dan tujuan mulia yang mencakup dimensi pribadi, keluarga, dan sosial. Allah SWT menetapkan pernikahan sebagai jalan yang paling utama untuk mencapai berbagai kebaikan dunia dan akhirat.
1. Mewujudkan Ketenangan Jiwa (Sakinah, Mawaddah, Rahmah)
Ini adalah tujuan fundamental pernikahan yang disebutkan dalam Al-Qur'an Surat Ar-Rum ayat 21:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Pernikahan menghadirkan sakinah (ketenangan dan kedamaian) bagi suami dan istri. Dari ketenangan ini lahirlah mawaddah (cinta yang mendalam) dan rahmah (kasih sayang) yang saling melengkapi dan menguatkan ikatan.
2. Melanjutkan Keturunan (Hifdzun Nasl)
Pernikahan adalah cara yang sah dan mulia untuk melestarikan keturunan manusia. Islam sangat menganjurkan umatnya untuk memiliki keturunan demi kelangsungan umat dan penyebaran agama. Anak-anak yang lahir dari pernikahan yang sah memiliki nasab (garis keturunan) yang jelas dan terjaga, sehingga menjaga martabat dan silsilah keluarga.
3. Menjaga Kehormatan (Iffah) dan Menghindari Perzinaan
Dengan menikah, seseorang dapat menjaga pandangannya, kemaluannya, serta kehormatannya dari perbuatan dosa dan maksiat, khususnya perzinaan. Pernikahan adalah benteng kokoh yang melindungi individu dari terjerumus dalam perilaku tidak bermoral dan menjaga kesucian masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan." (HR. Bukhari dan Muslim).
4. Memenuhi Kebutuhan Biologis secara Halal
Islam mengakui adanya naluri biologis pada manusia. Pernikahan adalah satu-satunya jalan yang dihalalkan untuk memenuhi kebutuhan ini secara syar'i, dengan cara yang bermartabat dan bertanggung jawab, bukan dengan cara-cara yang merusak tatanan sosial.
5. Membangun Masyarakat yang Kuat
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Jika setiap keluarga dibangun atas dasar yang kokoh, harmonis, dan Islami, maka akan terbentuklah masyarakat yang kuat, bermoral, dan beradab. Pernikahan yang sah juga mencegah masalah-masalah sosial seperti anak yatim piatu yang tidak jelas nasabnya atau kekacauan moral.
6. Menjalankan Sunnah Rasulullah SAW
Pernikahan adalah salah satu sunnah utama Rasulullah SAW. Beliau menganjurkan umatnya untuk menikah dan menjadikannya bagian dari ibadah. Dengan menikah, seorang muslim telah mengikuti jejak Rasulullah dan berusaha menyempurnakan agamanya.
7. Ibadah yang Panjang dan Berkesinambungan
Seluruh aspek kehidupan berumah tangga, mulai dari nafkah, pendidikan anak, melayani pasangan, hingga menjaga keharmonisan, semuanya dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah. Pernikahan adalah ladang pahala yang terus mengalir.
Dengan demikian, pernikahan dalam Islam adalah sebuah manifestasi dari keindahan dan kesempurnaan syariat, yang tidak hanya mengatur hubungan antar manusia tetapi juga mengangkatnya menjadi sebuah ibadah agung yang membawa keberkahan di dunia dan akhirat.
Pentingnya Pencatatan Pernikahan Secara Resmi
Setelah akad nikah dilaksanakan secara syar'i, sangat penting untuk melanjutkan dengan pencatatan pernikahan secara resmi oleh negara. Meskipun sahnya pernikahan di mata agama ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat syar'i, pencatatan ini memiliki urgensi yang besar dalam konteks hukum dan sosial kemasyarakatan modern.
Hukum dan Kewajiban Pencatatan
Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 2 ayat 2) menegaskan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi umat Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Dengan demikian, pencatatan pernikahan adalah wajib secara hukum negara, dan dianjurkan secara syar'i untuk kemaslahatan umat.
Meskipun ada praktik "nikah siri" (nikah di bawah tangan yang hanya sah secara agama tanpa dicatat negara), tindakan ini sangat tidak dianjurkan dan berpotensi menimbulkan banyak masalah hukum di kemudian hari. Oleh karena itu, bagi masyarakat Muslim Indonesia, nikah siri tidak diakui secara hukum negara dan seringkali menimbulkan kerugian bagi pihak perempuan dan anak.
Manfaat Pencatatan Pernikahan
Pencatatan pernikahan secara resmi membawa berbagai manfaat krusial:
- Perlindungan Hukum bagi Istri dan Anak: Akta nikah adalah bukti sah adanya pernikahan. Ini menjadi dasar hukum untuk menuntut hak-hak istri (nafkah, warisan, hak cerai) dan anak (status nasab, hak asuh, warisan, akta kelahiran). Tanpa akta nikah, istri dan anak akan kesulitan membuktikan hubungan hukum mereka.
- Legalitas Status Suami Istri: Dengan tercatatnya pernikahan, pasangan diakui secara resmi sebagai suami istri oleh negara, yang memudahkan mereka dalam berbagai urusan administrasi (misalnya membuat KTP, KK, paspor, dsb.).
- Kepastian Hukum Waris: Akta nikah memastikan hak waris yang jelas bagi suami, istri, dan anak-anak sesuai syariat Islam dan hukum negara.
- Legitimasi Nasab Anak: Anak yang lahir dari pernikahan yang tercatat secara resmi memiliki nasab yang jelas dan diakui negara. Ini penting untuk hak-hak sipil anak seperti akta kelahiran, pendidikan, dan warisan.
- Pencegahan Pernikahan Ganda (Poligami Tanpa Izin): Dengan sistem pencatatan, negara dapat mengontrol dan mencegah praktik poligami yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum (misalnya tanpa izin pengadilan).
- Mencegah Perselisihan dan Fitnah: Pencatatan pernikahan membantu menghindari perselisihan tentang status pernikahan atau fitnah yang mungkin timbul di masyarakat.
- Tertib Administrasi Negara: Pencatatan adalah bagian dari tertib administrasi kependudukan yang sangat penting bagi pembangunan negara.
Dengan demikian, pencatatan pernikahan bukan hanya sekadar formalitas, melainkan sebuah kebutuhan fundamental untuk menjamin hak-hak individu, menjaga ketertiban sosial, dan membangun keluarga yang memiliki perlindungan hukum yang kuat. Setiap pasangan muslim yang hendak menikah wajib mengurus pencatatan pernikahannya setelah akad, sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan negara.
Konsekuensi Hukum dari Sighat Akad yang Sah
Ketika sighat akad nikah telah diucapkan dengan benar dan semua rukun serta syarat telah terpenuhi, maka secara syar'i dan hukum negara (jika dicatat), akan timbul berbagai konsekuensi hukum yang mengikat kedua belah pihak. Konsekuensi ini mengubah status individu dan menciptakan tatanan baru dalam kehidupan bermasyarakat.
1. Halalnya Hubungan Suami Istri
Ini adalah konsekuensi paling mendasar. Dengan sahnya akad, hubungan biologis antara pria dan wanita yang sebelumnya haram menjadi halal dan diatur dalam bingkai syariat. Segala bentuk interaksi yang sebelumnya terlarang bagi non-mahram menjadi diperbolehkan dalam koridor pernikahan.
2. Timbulnya Hak dan Kewajiban Masing-masing Pihak
Akad nikah menciptakan hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri. Beberapa di antaranya:
- Kewajiban Suami:
- Memberi nafkah (pangan, sandang, papan) kepada istri dan anak.
- Memperlakukan istri dengan baik (mu'asyarah bil ma'ruf).
- Melindungi dan membimbing keluarga.
- Memberikan mahar yang telah disepakati.
- Kewajiban Istri:
- Taat kepada suami dalam hal yang tidak bertentangan dengan syariat.
- Menjaga kehormatan diri dan harta suami.
- Mengurus rumah tangga.
- Memberikan pelayanan lahir batin kepada suami.
- Hak Bersama: Saling mencintai, menghormati, menjaga rahasia, dan menasihati dalam kebaikan.
3. Status Nasab Anak
Setiap anak yang lahir dari pernikahan yang sah secara syar'i dan dicatat secara resmi akan memiliki nasab yang jelas dan diakui kepada ayah biologisnya. Ini sangat penting untuk hak waris, perwalian, dan status sosial anak. Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah tidak memiliki nasab kepada ayahnya secara syar'i dan hukum.
4. Hak Waris
Setelah sahnya akad, suami dan istri menjadi ahli waris satu sama lain. Jika salah satu meninggal dunia, pasangannya berhak atas bagian warisan sesuai ketentuan faraidh (hukum waris Islam). Demikian pula anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.
5. Terbentuknya Keluarga yang Sah
Akad nikah adalah pintu gerbang pembentukan keluarga (baitul muslim) yang sah di mata Allah dan masyarakat. Keluarga ini menjadi unit dasar pembangunan masyarakat yang Islami.
6. Penetapan Mahram
Dengan akad nikah, akan terjadi penetapan mahram baru melalui jalur pernikahan (mushaharah). Misalnya, ibu mertua menjadi mahram bagi menantunya, atau anak tiri (setelah terjadi hubungan intim dengan ibunya) menjadi mahram bagi ayah tirinya, yang artinya tidak boleh dinikahi.
Semua konsekuensi hukum ini menunjukkan betapa besar dan pentingnya sighat akad nikah. Ia bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi yang kuat bagi seluruh bangunan kehidupan berumah tangga dan implikasinya dalam masyarakat.
Penutup: Membangun Bahtera Rumah Tangga Berlandaskan Syariat
Pernikahan adalah salah satu syariat terindah dan terpenting dalam Islam. Ia bukan hanya penyatuan dua insan, melainkan sebuah ikatan suci yang mengawali pembangunan sebuah keluarga, unit terkecil namun terpenting dalam masyarakat Muslim. Di tengah keagungan prosesi pernikahan, sighat akad nikah berdiri sebagai pilar utama, sebuah untaian kata yang sarat makna dan konsekuensi hukum, yang menjadi penentu sah atau tidaknya seluruh rangkaian ibadah ini.
Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemahaman mendalam mengenai definisi, rukun, dan syarat-syarat sighat akad nikah adalah sebuah keharusan bagi setiap Muslim yang hendak melangsungkan atau terlibat dalam pernikahan. Setiap lafadz yang diucapkan, setiap syarat yang dipenuhi, dan setiap niat yang terpatri dalam hati, semuanya memiliki bobot dan implikasi yang tidak main-main. Keabsahan sighat bukan sekadar formalitas, melainkan jaminan keberkahan, kejelasan nasab, perlindungan hak, serta landasan kokoh bagi perjalanan rumah tangga di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, marilah kita senantiasa memastikan bahwa pernikahan yang kita lakukan atau saksikan telah memenuhi seluruh tuntunan syariat, khususnya dalam pelaksanaan sighat ijab qabul. Jangan biarkan ketidaktahuan atau kelalaian merusak kesucian dan keabsahan ikatan yang telah diikrarkan di hadapan Allah SWT ini. Setelah akad yang sah, jangan lupa pula untuk melengkapinya dengan pencatatan resmi negara demi kemaslahatan dan perlindungan hukum bagi seluruh anggota keluarga.
Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi setiap pernikahan yang dibangun di atas fondasi Islam, menjadikan keluarga-keluarga kita sebagai baitul muslim yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, serta sebagai jalan untuk meraih surga-Nya. Pernikahan adalah amanah besar, maka jalankanlah dengan penuh ilmu, iman, dan takwa.