Surat Al-Anfal, yang merupakan surat ke-8 dalam susunan mushaf Al-Qur'an, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sejarah Islam. Nama "Al-Anfal" sendiri berarti "Harta Rampasan Perang" atau "Harta Ghanimah". Meskipun namanya demikian, cakupan materi dalam surat ini jauh lebih luas daripada sekadar pembagian harta hasil perang. Surat ini turun setelah peristiwa besar yang menjadi titik balik umat Islam, yaitu Perang Badar. Oleh karena itu, Al-Anfal seringkali membahas tatanan sosial, etika perang, tanggung jawab spiritual, serta bagaimana seharusnya umat memandang kemenangan dan pertolongan Allah SWT.
Penurunan Surat Al-Anfal, yang sebagian besar ayatnya berpusat pada peristiwa Badar, memberikan pedoman langsung dari Allah mengenai bagaimana kaum Muslimin harus bersikap setelah meraih kemenangan besar pertama melawan kekuatan Quraisy yang jauh lebih besar. Ayat-ayat awal surat ini secara eksplisit membahas tentang pembagian harta rampasan (anfal), menekankan bahwa hak atas harta tersebut sepenuhnya berada di bawah otoritas Allah dan Rasul-Nya. Ini adalah pelajaran fundamental bahwa segala sumber daya, baik dalam keadaan perang maupun damai, harus dikelola sesuai syariat ilahi, bukan berdasarkan keinginan pribadi atau keserakahan kelompok.
Namun, tema yang lebih mendalam adalah mengenai keimanan dan tauhid. Surat ini secara tegas mengingatkan bahwa kemenangan yang diraih bukanlah semata-mata karena kekuatan fisik atau strategi manusia, melainkan murni pertolongan Allah. Allah SWT berfirman, "Dan ingatlah ketika kamu (hai Muhammad) mengatakan kepada orang-orang mukmin: 'Tidakkah cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (QS. Al-Anfal: 9)'. Pengingat ini bertujuan untuk memurnikan niat dan mencegah kesombongan setelah keberhasilan.
Selain mengatur masalah harta, Al-Anfal memberikan landasan etika peperangan dalam Islam. Surat ini mengajarkan bahwa perang dilakukan bukan untuk penaklukan atau keserakahan materi, melainkan untuk membela kebenaran dan menegakkan agama Allah. Ayat-ayat yang berbicara tentang jihad harus dipahami dalam konteks pertahanan diri dan penegakan keadilan. Penting bagi seorang mukmin untuk patuh kepada Rasulullah SAW dan pemimpin yang sah. Ketaatan ini ditekankan karena perpecahan dan perselisihan adalah sumber kelemahan utama yang dapat menggagalkan upaya kolektif umat. Jika umat bersatu dan taat, janji pertolongan Allah akan ditepati.
Ada juga penekanan kuat mengenai pentingnya persaudaraan (ukhuwah) di antara orang-orang yang beriman. Mereka yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah digambarkan sebagai satu kesatuan yang harus saling mengasihi dan membela, memprioritaskan hak saudara seiman di atas kepentingan pribadi atau kelompok kabilah lama. Konsep ini membentuk fondasi masyarakat Madinah yang egaliter berdasarkan iman, bukan lagi berdasarkan garis keturunan atau kesukuan.
Meskipun konteks spesifiknya adalah Perang Badar, relevansi Surat Al-Anfal tetap abadi. Pertama, ia mengajarkan pentingnya evaluasi diri. Setiap kali kita mencapai kesuksesan, baik secara individu, bisnis, maupun komunitas, kita wajib mengingat sumber segala nikmat tersebut. Ini mencegah penyakit 'ujub (kagum pada diri sendiri).
Kedua, surat ini menyoroti fungsi zakat dan sedekah sebagai cara membersihkan harta dan menguatkan solidaritas sosial. Pembahasan tentang anfal (harta) mengarah pada kesimpulan bahwa sumber daya harus didistribusikan untuk kemaslahatan umum dan penguatan dakwah. Seorang mukmin sejati selalu siap untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Ketiga, Al-Anfal mengingatkan bahwa perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui jalur yang benar, yaitu kembali kepada kepemimpinan yang sah dan hukum Allah (Al-Qur'an dan Sunnah). Konflik internal adalah senjata paling efektif yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk melemahkan barisan umat.
Kesimpulannya, Surat Al-Anfal lebih dari sekadar regulasi harta rampasan; ia adalah konstitusi awal bagi negara Islam yang baru berdiri. Surat ini membentuk karakter prajurit dan warga negara yang ideal: rendah hati di hadapan Allah, disiplin dalam kepemimpinan, solidaritas tinggi terhadap sesama mukmin, serta berpegang teguh pada janji dan pertolongan Ilahi dalam menghadapi segala bentuk tantangan. Membaca dan merenungkan surat ini adalah langkah penting untuk memahami etos perjuangan dan ketatanegaraan dalam Islam.