Visualisasi penanganan susu alergi protein sapi.
Alergi Protein Susu Sapi (APSS) merupakan salah satu bentuk intoleransi makanan yang paling umum terjadi pada bayi dan anak-anak di bawah usia tiga tahun. Kondisi ini terjadi ketika sistem imun tubuh bereaksi berlebihan terhadap protein yang terkandung dalam susu sapi, seperti kasein atau whey. Meskipun sering kali disamakan dengan intoleransi laktosa, APSS adalah reaksi imunologis yang jauh lebih serius dan memerlukan penanganan diet yang ketat.
Memahami gejala dan mencari diagnosis yang tepat adalah langkah awal krusial. Gejala APSS bisa bervariasi, mulai dari reaksi ringan hingga reaksi berat. Pada bayi, gejala sering muncul pada kulit (seperti ruam, eksim, atau biduran), saluran pencernaan (muntah, diare berdarah, kolik kronis), hingga saluran pernapasan (batuk kronis atau sesak napas).
Protein susu sapi mengandung berbagai antigen yang dapat memicu respons antibodi IgE (Immediate Hypersensitivity) atau non-IgE (Delayed Hypersensitivity). Reaksi cepat (IgE) cenderung lebih berbahaya karena bisa berkembang menjadi anafilaksis, meski jarang terjadi pada kasus APSS murni. Sebagian besar kasus APSS melibatkan reaksi tertunda yang memengaruhi sistem pencernaan, membuat diagnosis menjadi lebih rumit karena gejalanya bisa menyerupai masalah pencernaan lain.
Faktor genetik juga memainkan peran penting. Jika salah satu atau kedua orang tua memiliki riwayat alergi (seperti asma, rinitis alergi, atau eksim), risiko bayi mengalami APSS meningkat signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pada lapisan usus (gut barrier) pada masa awal kehidupan juga dapat memicu munculnya sensitivitas terhadap protein asing.
Penanganan utama untuk susu alergi protein sapi adalah eliminasi total protein susu sapi dari diet penderita. Bagi bayi yang masih mengonsumsi ASI, ibu perlu melakukan diet eliminasi ketat, yaitu menghindari semua produk turunan susu sapi (termasuk keju, mentega, yogurt, dan bahan tersembunyi dalam makanan olahan). Diet eliminasi ibu harus dilakukan minimal 2-4 minggu untuk melihat perubahan signifikan pada gejala bayi.
Ketika protein susu sapi dieliminasi, kebutuhan nutrisi—terutama kalsium dan Vitamin D—harus tetap terpenuhi. Untungnya, ada banyak pilihan pengganti yang aman:
Orang tua juga harus waspada terhadap "jejak" susu sapi dalam makanan olahan. Bahan seperti kaseinat, laktalbumin, atau whey sering tersembunyi dalam roti, sereal sarapan, bahkan beberapa obat-obatan. Membaca label nutrisi secara teliti adalah keharusan mutlak dalam mengelola alergi ini.
Kabar baiknya, banyak anak yang mengalami alergi protein susu sapi akan mengalami toleransi alami seiring bertambahnya usia. Sekitar 50% anak mulai bisa menoleransi protein susu sapi pada usia 1 tahun, dan angka ini meningkat hingga 80% pada usia 5 tahun. Dokter biasanya akan menyarankan pengujian ulang (oral food challenge) secara berkala di bawah pengawasan medis untuk memastikan kapan anak siap mengonsumsi susu sapi kembali.
Mengelola susu alergi protein sapi membutuhkan kesabaran, edukasi, dan kerja sama erat dengan dokter spesialis anak atau ahli alergi. Dengan manajemen diet yang tepat, anak tetap dapat tumbuh kembang dengan optimal dan mendapatkan semua nutrisi yang dibutuhkan untuk masa depan mereka.